Sabtu, 21 Agustus 2010

Membicarakan wacana pendidikan dan pengajaran di PP. Al-Munawwariyyah, tak bisa mengabaikan sosok KH. Muh. Maftuh Sa’id. Perjuangan dan pengorbanannya dalam merintis pesantren yang berlokasi di desa Sudimoro Bululawang ini cukup alot dan panjang, hingga bisa menjadi seperti saat ini. Semenjak awal berdirinya pesantren pada tahun 1983; dari mengayomi beberapa santri yang mengaji al-Qur’an, tanpa ada lembaga pendidikan, hingga saat ini berhasil mendirikan setidaknya lima lembaga; SD, SMP, SMA, Madrasah Islamiyah, Tarbiyatul Qur’an Al-Munawwariyyah. Sudah ribuan santrinya yang tamat dan menyebar ke seantero tanah air, bahkan tidak sedikit yang meneruskan studi ke Timur Tengah.
Bagi KH. Maftuh, kualitas pendidikan santri merupakan kewajiban yang harus terus diperhatikan dan sebisa mungkin dikembangkan. Beliau sadar betul akan pentingnya pendidikan pada zaman ini; bukan sekedar untuk mendapatkan pengakuan melalui Ijazah, lebih dari itu, sebagai upaya ikut serta mencerdaskan bangsa.
Sehingga, walaupun tidak pernah merasakan tamat sekolah dasar, tapi pengasuh Al-Munawwariyyah ini bertekad sebisa mungkin menyediakan lembaga pendidikan formal bagi para santrinya setinggi mungkin. Walau masih sebatas angan, tapi tetap menjadi tekad sosok tauladan kita ke depan, agar kelak dapat berdiri universitas dari “rahim” Al-Munawwariyyah.

Sosok Pribadi
KH. Muh. Maftuh Sa’id lahir di sebuah daerah pinggir sungai Bengawan Solo, tepatnya di desa Ngaren Bungah, Kab. Gresik. Beliau adalah putra pertama dari pasangan almagfur lahu KH. Sa’id Mu’in dan Nyai Hj. Mardliyah. Dalam perjalanan hidupnya, Kiai Maftuh kecil pernah mengenyam pendidikan: Sekolah Rakyat (SR) di Bungah Gresik, pada tahun 1956. Namun, hanya sampai kelas empat saja. Setelah menyelesaikan hafalan al-Qur’annya dari sang ayah, beliau meneruskan pendidikan agama ke Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri, selama 9 tahun. Tepatnya sejak 1964 sampai 1973.
Penderitaan dan kesedihan seakan sudah menjadi “teman” Kiai Maftuh kecil saat mondok di Al-Falah. Dari pengakuannya dalam banyak kesempatan saat mulang santri, Kiai Maftuh kecil tidak jarang menunggu belas kasihan teman-temannya waktu itu, untuk bisa ikut makan bareng; menunggu ada yang menyuruhnya untuk membelikan atau mengerjakan sesuatu. Selain termasuk dari keluarga kurang mampu, waktu itu pengasuh termasuk santri yang paling kecil. Maka tidak heran, jika hampir semua santri mengenalnya. Namun, kelebihannya dari teman-temannya kala itu, adalah hafalan Qur’annya pada usia yang sangat dini.

Usratul Huffadz
Seperti sudah disinggung di atas, KH. Muh. Maftuh Sa'id adalah putra pertama dari tiga belas bersaudara yang saat ini tinggal sebelas orang, pasangan Asy-syekh Al-Hafidz KH. Muh. Sa'id Mu’in dan Nyai Hj. Mardliyyah yang tinggal di Gresik. Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa keluarga besar ini adalah usratul Huffadz yaitu keluarga para penghafal Al-Qur'an.
Dari kesaksian para santri dan kerabat, bahwa KH. Muh. Sa'id, semasa hidupnya, sangat "galak” dan keras mendidik putra-putri dan para santrinya dalam membaca dan menghafal Al-Qur'an. Hasilnya, seluruh putra dan putri beliau dan hampir semua santrinya telah hafal Al-Qur’an. Sebuah kenyataan yang sukar dicari padanannya. Ini tidak lain, karena kedisiplinan sang ayah dalam mendidik.
Kedisiplinan KH. Muh. Sa’id Mu’in dalam mengajarkan Al-Qur’an juga diakui oleh para Kiai besar di masanya. Menurut pengakuan Nyai Hj. Mardliyyah, bahwa Alm. KH. Hamid Pasuruan memberikan julukan "asadul Qur'an" (harimaunya Al-Qur'an) kepada KH. Muh. Sa’id Mu’in. Kiranya sifat inilah yang "mengalir" kepada putra sulung beliau KH. Muh. Maftuh Sa'id; telah menyelesaikan hafalan Qur'annya pada usia 9 tahun. Serta "kegarangan" dalam mengajarkan cara membaca dan menghafal Al-Qur'an.
Karena “keberhasilan” asy-Syekh al-Hafidz Sa’id dalam menerapkan sistem tahfidzil Qur’an, tidak sedikit para pengasuh pondok-pondok besar se-Indonesia yang datang kepada beliau; memohon restu dan ijin membuka lembaga Tahfidul Qur’an di pondok mereka masing-masing. Kenyataan ini juga diakui oleh pengasuh PP. Al-Amin, KH. Moh. Idris Djauhari; datang bertandang ke kediaman KH. Muh. Sa’id Muin, memohon restu saat akan membuka program ‘Ma’had Tahfidz’ di Al-Amien, Prenduan Sumenep Madura.
Setelah menikah dengan Nyai Hj. Marfuatun, putri KH. Mahfudz rahimahuAllahu, dari Kepanjen Malang, Kiai Maftuh muda tinggal untuk sementara waktu di Kepanjen, sebelum selanjutnya hijrah ke desa Sudimoro Bululawang Malang.

Hijrah ke Desa Sudimoro
Banyak sebab yang menjadi perantara hijrahnya Kiai Maftuh muda ke Bululawang Malang, tepatnya di desa Sudimoro. Namun yang pasti, ini adalah taqdir Allah SWT. yang mengirim dan menempatkan beliau untuk membina masyarakat desa Sudimoro dan sekitarnya.
Kira-kira pada pertengahan tahun 1980-an, KH. Muh. Maftuh Sa'id muda bersama seorang istri dan ketiga anaknya; Nurul Hafshah, Muh. Agus Fahim dan Hanifah Sa’diyyah, hijrah ke desa Sudimoro, dan menempati sebuah rumah kontrakan yang sangat sederhana. Di rumah inilah untuk pertama kali KH. Maftuh Sa'id mengikuti jejak ayahandanya, mendidik putra-putrinya menghafal Al-Qur'an.
Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, banyak masyarakat yang ingin menitipkan anak-anak mereka untuk dididik membaca dan menghafal Al-Qur'an. Karena, pada waktu itu, jangankan untuk menghafal, bisa membaca Al-Qur'an dengan baik saja, pada usia dini, sudah menjadi nilai tambah di tengah masyarakat.
Ketenaran KH. Muh Maftuh Sa'id sebagai pendidik membaca dan menghafal Al-Qur'an-pun kian tersebar bukan hanya di daerah Malang saja, tapi hampir seluruh pelosok Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan terus bertambahnya para santri dari seluruh penjuru nusantara.


Sekilas Tentang Pesantren
Pondok pesantren Al-Munawwariyah didirikan oleh KH. Muh. Maftuh Sa'id pada tanggal 28 Juli 1983 M, bertepatan dengan tanggal 7 Syawal 1402 H. Dari pengakuan jujur beliau saat awal merintis, sebenarnya tidak ada niatan untuk mendirikan pondok pesantren yang sebesar dan semegah seperti saat ini. Bahkan dalam banyak kesempatan, dengan merendahkan diri, Kiai Maftuh sering menyatakan bahwa kesuksesan pembangunan fisik pondok cuma berpedoman pada ‘kurdi’, kepanjangan dari sukur dadi (yang penting jadi).
Pedoman tersebut mungkin berlaku bagi hampir semua pembangunan fisik pondok. Saat dirasa sudah tidak memadai lagi untuk para santri dan santriwati, maka segeralah dibangun gedung baru yang jika ditanya dari mana dananya, dengan yakin dan mantap beliau menjawab: "dari Allah SWT."
Sampai saat ini, bangunan fisik yang telah berdiri di atas tanah pondok seluas 1,5 Ha, dari luas tanah keseluruhan 3,5 Ha। Dengan seizin Allah, pengasuh sudah mulai berencana akan melebarkan “sayap” bangunan fisik pesantren ke sisi sebelah utara pondok yang ada saat ini. Harapan ke depan, lokasi pondok untuk santri akan benar-benar terpisah dari lokasi pondok santriwati.

sumber http://elmunan.blogspot.com/2008/05/kh-maftuh-said.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda baca sendiri Artikelnya