Jumat, 29 Januari 2010

KITAB,e Mbah Ihsan Jampes





Bagi masyarakat Muslim yang pernah menuntut ilmu-ilmu agama Islam di lembaga pesantren, tentu pernah mendengar atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul Siraj Al Thalibin syarah Minhaj Al Abidin. Buku ini berisi komentar atas traktat Imam Al Ghazali --seorang ulama dan filosof besar di masa abad pertengahan yang wafat 111 M silam. Kitab itu disusun oleh Syekh Ihsan Muhammad Dahlan pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali 1936 oleh penerbitan dan percetakan An Banhaniyah milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa'ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya, bekerja sama dengan sebuah percetakan Mustafa Al Baby Halabi di Kairo, Mesir.

Yang terakhir adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya ulama besar abad pertengahan. Siraj Al Thalibin berbentuk terdiri dua juz (bagian --Red). Juz pertama berisi 419 halaman dan juz kedua 400 halaman. Dalam periode berikutnya kitab tersebut dicetak oleh Darul Fikr --sebuah percetakan dan penerbit besar di Beirut, Libanon. Dalam cetakan Libanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua 554 halaman.

Setengah abad silam, kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Tetapi juga di negara-negara non-Islam seperti AS, Kanada, dan Australia, di mana situ terdapat jurusan filsafat, theosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu.

Siraj Al Thalibin dipelajari dan ditekuni oleh masyarakat Muslim di seluruh dunia lantaran kitab ini mempunyai nilai yang tinggi, sehingga telah pula dijadikan buku wajib untuk kajian pasca sarjana Universitas Al Azhar Kairo-Mesir, sebuah lembaga perguruan tinggi tertua di dunia (970 M) itu. Selain juga dipelajari beberapa perguruan tinggi lain, dan digunakan oleh hampir seluruh pondok pesantren di tanah air, dengan kajian mendalam tentang tasawuf dan akhlak.

Siapakah pengarang kitab yang kesohor berksala internasional itu? Dia seorang ulama Indonesia bernama Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al Jampesi, pengasuh pesantren 'Jampes' (kini 'Al Ihsan' Jampes) di Dusun Jampes Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jatim. Berkat karyanya yang monumental, KH Ihsan --panggilan akrab KH Ishan bin Dahlan-- akhirnya mendapat gelar ulama sufi...

Kiai dari Dusun Jampes, sekitar 8 kilo meter arah utara kota Kediri ini, sebenarnya bukan dikenal sebagai ulama sufi saja. Tetapi, ia juga dikenal sebagai ahli dalam ilmu-ilmu falak, fiqh, hadist, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Karenanya, karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata. Ulama dan penulis kitab ini memang memiliki kuat talenta dan darah kiai. Ia putra pasangan dari KH Dahlan bin Saleh dan Ny Istianah, pendiri pesantren Jampes. Kakeknya Kiai Saleh adalah seorang ulama asal Bogor, Jabar, yang masa muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren di Jatim.

Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur keturunan dari Sunan Syarif Hidayatullah Gunungjati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di tanah air. Sedangkan ibundanya anak dari KH Mesir, tokoh ulama di Pacitan yang masih keturunan panembahan senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16. Kiai yang suka menggeluti dunia tasawuf itu dikenal sebagai orang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang berbobot namun ia tak suka publikasi. ''Beliau juga enggan berfoto diri. Sampai-sampai keturunannya sulit memiliki dokumentasi fotonya,'' kata KH Abdul Latief, pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Kiai Ihsan ini.

Semenjak muda, lanjutnya, Kiai Ihsan memiliki hobi membaca. Memang ia memiliki motto: Tiada Hari Tanpa Membaca. Buku-buku yang dibaca bukan semata hanya berupa kitab-kitab agama saja. Namun ia juga senang membaca aneka garam kitab, baik itu yang berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia. Malah membaca koran adalah termasuk salah satu hobi Kiai Ihsan. Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi mengarang mengikuti. Dalam waktu-waktu senggang beliau selalu mengarang, bila tak memanfaatkan untuk membaca. Sedangkan yang ia selalu tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan dengan kedudukannya sebagai kiai pengasuh pondok pesantren.

Pada tahun 1930, Kiai Ihsan menulis sebuah kitab dibidang ilmu falak (astronomi) yang diberinya judul: Tashrih Al Ibarat, penjabaran dari kitab Natijat Al Miqat kitab karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang. Kitab Tashrih Al; Ibarat diterbitkan oleh sebuah penerbit di Kota Kudus (Jateng) dengan isi setebal 48 halaman. Selanjutnya, pada 1932, Kiai, yang kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini, juga berhasil mengarang kitab ilmu tasawuf. Kitab ilmu taswawuf yang ditulis itu akhirnya membuarkan nama wangi tak hanya Pondok James, tetapi juga bangsa Indonesia --karena kitab tersebut akhirnya menjadi referensi di manca negara. Kitab itu tak lain adalah Siraj Al Thalibin.

Tahun 1944, Kiai Ihsan mengarang lagi sebuah kitab yang diberi judul Manahij Al Amdad, penjabaran dari kitab Irsyad Al Ibad karya Syeikh Zainuddin Al Mulaibari (982 H). Setebal 1036 halaman, kitab itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi. Selain Manahij Al Amdad, masih ada lagi karya-karya pengasuh Pondok Jampes ini yang belum sempat naik cetak. Di antaranya adalah sebuah kitab yang berjudul Irsyad Al Ikhwan Fisyurbati Al Qahwati Wa Al Dukhan, sebuah kitab yang khusus membicarakan tentang minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam.

Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama hingga ke manca negara adalah Siraj Al Thalibin. Bahkan, raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam, pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes hanya menyampaikan keinginannya agar KH Ihsan bersedia diperbantukan mengajar di Al Azhar University di Kairo, Mesir. Namun, Kiai Ihsan menolaknya dengan halus permintaan Raja Faraouk lewat utusannya tadi. Dusun Jampes yang sepi, tampaknya lebih memikat hati Kiai Ihsan untuk berlama-lama tinggal dari pada harus hengkang di Mesir. Tujuan hidupnya memang adalah mengabdi kepada warga pedesaan di tanah air.

Dan, keinginan untuk membesarkan pondok pesantren di lingkungan desa yang sepi itu bisa terwujud. Pada 1942 lalu, Kiai Ihsan tak hanya berkutat mengasuh pesantren semata. Tetapi di dalam pesantren ini juga mulai didirikan madrasah. Di bawah kepemimpinan Kiai Ihsan, Pesantren Jampes terus didatangi para santri dari berbagai penjuru tanah air untuk menimba ilmu.

Madrasah yang didirikan pada jaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang lebih dikenal dengan sebutan 'MMH' (Madrasah Mufatihul Huda). Kemudian dalam perkembangannya, pesantren ini pun mengecambah bangunan-bangunan sekolah setingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Malah, keberada pesantren tersebut oleh warga sekitar kini seolah menjadi 'tameng' dari desakan PT Gudang Garam yang terus mencari tanah untuk meluaskan lokasi pabriknya.

Salam Buat Semua yang (sudah tamat atau yang masih mondok)Santri Jampes Khususnya Kamar "SLANK". ojo lali kopi karo rokok,e lintingan Yo? :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda baca sendiri Artikelnya