Jumat, 29 Januari 2010

Al-Kitab saking Jampes


Al-Ihsan


Salah satu ulama yang paling berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di
wilayah nusantara pada abad ke-19 (awal abad ke-20) adalah Syekh Ihsan Muhammad
Dahlan al-Jampesi. Namun, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Pondok
Pesantren Jampes (kini Al Ihsan Jampes) di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan
Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namanya makin terkenal setelah kitab
karangannya Siraj Al-Thalibin menjadi bidang ilmu yang dipelajari hingga
perguruan tinggi, seperti Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dan, dari
karyanya ini pula, ia dikenal sebagai seorang ulama sufi yang sangat hebat.

Semasa hidupnya, Kiai dari Dusun Jampes ini tidak hanya dikenal sebagai ulama
sufi. Tetapi, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu
falak, fikih, hadis, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Karena itu,
karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata,
tetapi hingga pada persoalan fikih.

Dilahirkan sekitar tahun 1901, Syekh Ihsan al-Jampesi adalah putra dari seorang
ulama yang sejak kecil tinggal di lingkungan pesantren. Ayahnya KH Dahlan bin
Saleh dan ibunya Istianah adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes.
Kakeknya adalah Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat, yang masa
muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren
di Jatim.

Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang
sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur keturunan dari Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali
penyebar agama Islam di Tanah Air.

Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang kiai Mesir, tokoh ulama di Pacitan
yang masih keturunan Panembahan Senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri
Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16.

Keturunan Syekh Ihsan al-Jampesi mengenal sosok ulama yang suka menggeluti
dunia tasawuf itu sebagai orang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang
berbobot, namun ia tak suka publikasi. Hal tersebut diungkap KH Abdul Latief,
pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Syekh Ihsan al-Jampesi.

Membaca dan menulis
Semenjak muda, Syekh Ihsan al-Jampesi terkenal suka membaca. Ia memiliki motto
(semboyan hidup), 'Tiada Hari tanpa Membaca'. Buku-buku yang dibaca beraneka
ragam, mulai dari ilmu agama hingga yang lainnya, dari yang berbahasa Arab
hingga bahasa Indonesia.

Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam
dirinya. Di waktu senggang, jika tidak dimanfaatkan untuk membaca, diisi dengan
menulis atau mengarang. Naskah yang ia tulis adalah naskah-naskah yang berisi
ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh
pondok pesantren.

Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab di bidang ilmu
falak (astronomi) yang berjudul Tashrih Al-Ibarat , penjabaran dari kitab
Natijat Al-Miqat karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang. Selanjutnya, pada 1932,
ulama yang di kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil
mengarang sebuah kitab tasawuf berjudul Siraj Al-Thalibin . Kitab Siraj
Al-Thalibin ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga
bangsa Indonesia.

Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul Manahij Al-Amdad ,
penjabaran dari kitab Irsyad Al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karya Syekh
Zainuddin Al-Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1036
halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.

Selain Manahij Al-Amdad , masih ada lagi karya-karya pengasuh Ponpes Jampes
ini. Di antaranya adalah kitab Irsyad Al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa
Al-Dukhan , sebuah kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari
segi hukum Islam.

Kitab yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati wa al-Dukhan
(kitab yang membahas kopi dan rokok) ini tampaknya ada kaitannya dengan
pengalaman hidupnya saat masih remaja.

Di kisahkan, sewaktu muda, Syekh Ihsan terkenal bandel. Orang memanggilnya
'Bakri'. Kegemarannya waktu itu adalah menonton wayang sambil ditemani segelas
kopi dan rokok. Kebiasannya ini membuat khawatir pihak keluarga karena Bakri
akan terlibat permainan judi. Kekhawatiran ini ternyata terbukti. Bakri sangat
gemar bermain judi, bahkan terkenal sangat hebat. Sudah dinasihati
berkali-kali, Bakri tak juga mau menghentikan kebiasan buruknya itu.

Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama
bernama KH Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya. Di makam
tersebut, ayahnya berdoa dan memohon kepada Allah agar putranya diberikan
hidayah dan insaf. Jika dirinya masih saja melakukan perbuatan judi tersebut,
lebih baik ia diberi umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat dan
masyarakat.

Selepas berziarah itu, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri) bermimpi didatangi
seseorang yang berwujud seperti kakeknya sedang membawa sebuah batu besar dan
siap dilemparkan ke kepalanya.''Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan
kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke
kepalamu," kata kakek tersebut.

Ia bertanya dalam hati, ''Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau
terus, itu bukan urusan kakek,'' timpal Syekh Ihsan.Tiba tiba, sang kakek
tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya
pecah. Ia langsung terbangun dan mengucapkan istighfar. ''Ya Allah, apa yang
sedang terjadi. Ya Allah, ampunilah dosaku.''

Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai
gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa.
Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH Saleh Darat
(Semarang), KH Hasyim Asyari (Jombang), dan KH Muhammad Kholil (Bangkalan,
Madura).

Tawaran Raja Mesir
Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama
hingga ke mancanegara adalah Siraj Al-Thalibin . Bahkan, Raja Faruk yang
sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes
hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia
diperbantukan mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk lewat utusannya tadi
dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya kepada warga pedesaan di Tanah Air
melalui pendidikan Islam.
Dan, keinginan Syekh Ihsan al-Jampesi tersebut terwujud dengan berdirinya
sebuah madrasah dalam lingkungan Ponpes Jampes di tahun 1942. Madrasah yang
didirikan pada zaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang
lebih dikenal dengan sebutan 'MMH' (Madrasah Mufatihul Huda).

Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Jampes terus didatangi para santri dari
berbagai penjuru Tanah Air untuk menimba ilmu. Kemudian, dalam perkembangannya,
pesantren ini pun berkembang dengan didirikannya bangunan-bangunan sekolah
setingkat tsanawiyah dan aliyah. Dedikasinya terhadap pendidikan Islam di Tanah
Air terus ia lakukan hingga akhir hayatnya pada 15 September 1952.


Siraj Al-Thalibin, Kitab yang Sarat dengan Ilmu Tasawuf

Umat Muslim yang pernah menuntut ilmu agama di pesantren tentu pernah mendengar
atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin
karya Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi. Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj
Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar di masa abad
pertengahan.

Kitab Siraj al-Thalibin disusun pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali
pada 1936 oleh penerbitan dan percetakan An Banhaniyah milik Salim bersaudara
(Syekh Salim bin Sa'ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya yang bekerja sama
dengan sebuah percetakan di Kairo, Mesir, Mustafa Al Baby Halabi. Yang terakhir
adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama
Islam karya ulama besar abad pertengahan.

Siraj al-Thalibin terdiri atas dua juz (jilid). Juz pertama berisi 419 halaman
dan juz kedua 400 halaman. Dalam periode berikutnya, kitab tersebut dicetak
oleh Darul Fiqr--sebuah percetakan dan penerbit di Beirut, Lebanon. Dalam
cetakan Lebanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman
dan jilid kedua 554 halaman.

Kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di negara-negara non-Islam,
seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia, di mana terdapat jurusan
filsafat, teosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu. Sehingga,
kitab Siraj al-Thalibin ini menjadi referensi di mancanegara.

Tidak hanya itu, kitab ini juga mendapatkan pujian luas dari kalangan ulama di
Timur Tengah. Karena itu, tak mengherankan jika kitab ini dijadikan buku wajib
untuk kajian pascasarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sebuah lembaga
perguruan tinggi tertua di dunia.

Kitab ini dipelajari beberapa perguruan tinggi lain dan digunakan oleh hampir
seluruh pondok pesantren di Tanah Air dengan kajian mendalam tentang tasawuf
dan akhlak. Menurut Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari situs
NU Online , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum Muslim di
Afrika dan Amerika.

Karya fenomenal ulama dari Dusun Jampes, Kediri, ini belakangan menjadi
pembicaraan hangat di Tanah Air. Ini setelah sebuah penerbitan terbesar di
Beirut, Lebanon, kedapatan melakukan pembajakan terhadap karya Syekh Ihsan
Muhammad Dahlan al-Jampesi. Perusahaan penerbitan dengan nama Darul Kutub
Al-Ilmiyah ini diketahui mengganti nama pengarang kitab Siraj al-Thalibin
dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Bahkan, kitab versi baru ini sudah beredar
luas di Indonesia.

Dalam halaman pengantar kitab Siraj al-Thalibin versi penerbit Darul Kutub
Al-Ilmiyah, nama Syekh Ihsan al-Jampesi di paragraf kedua juga diganti dan
penerbit menambahkan tiga halaman berisi biografi Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang
wafat pada 1941, masih satu generasi dengan Syeh Ihsan al-Jampesi yang wafat
pada 1952. Sementara itu, keseluruhan isi dalam pengantar itu bahkan
keseluruhan isi kitab dua jilid itu sama persis dengan kitab asal. Penerbit
juga membuang taqaridh atau semacam pengantar dari Syekh KH Hasyim Asyari
(Jombang), Syekh KH Abdurrahman bin Abdul Karim (Kediri), dan Syekh KH Muhammad
Yunus Abdullah (Kediri).

Kitab tersebut menawarkan konsep tasawuf di zaman modern ini. Misalnya,
pengertian tentang uzlah yang secara umum bermakna pengasingan diri dari
kesibukan duniawi. Menurut Syekh Ihsan, maksud dari uzlah di era sekarang
adalah bukan lagi menyepi, tapi membaur dalam masyarakat majemuk, namun tetap
menjaga diri dari hal-hal keduniawian.



semoga ilmu kita bermanfaat dunia akhirat.... Amin ya robbal alamin!

KITAB,e Mbah Ihsan Jampes





Bagi masyarakat Muslim yang pernah menuntut ilmu-ilmu agama Islam di lembaga pesantren, tentu pernah mendengar atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul Siraj Al Thalibin syarah Minhaj Al Abidin. Buku ini berisi komentar atas traktat Imam Al Ghazali --seorang ulama dan filosof besar di masa abad pertengahan yang wafat 111 M silam. Kitab itu disusun oleh Syekh Ihsan Muhammad Dahlan pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali 1936 oleh penerbitan dan percetakan An Banhaniyah milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa'ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya, bekerja sama dengan sebuah percetakan Mustafa Al Baby Halabi di Kairo, Mesir.

Yang terakhir adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya ulama besar abad pertengahan. Siraj Al Thalibin berbentuk terdiri dua juz (bagian --Red). Juz pertama berisi 419 halaman dan juz kedua 400 halaman. Dalam periode berikutnya kitab tersebut dicetak oleh Darul Fikr --sebuah percetakan dan penerbit besar di Beirut, Libanon. Dalam cetakan Libanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua 554 halaman.

Setengah abad silam, kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Tetapi juga di negara-negara non-Islam seperti AS, Kanada, dan Australia, di mana situ terdapat jurusan filsafat, theosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu.

Siraj Al Thalibin dipelajari dan ditekuni oleh masyarakat Muslim di seluruh dunia lantaran kitab ini mempunyai nilai yang tinggi, sehingga telah pula dijadikan buku wajib untuk kajian pasca sarjana Universitas Al Azhar Kairo-Mesir, sebuah lembaga perguruan tinggi tertua di dunia (970 M) itu. Selain juga dipelajari beberapa perguruan tinggi lain, dan digunakan oleh hampir seluruh pondok pesantren di tanah air, dengan kajian mendalam tentang tasawuf dan akhlak.

Siapakah pengarang kitab yang kesohor berksala internasional itu? Dia seorang ulama Indonesia bernama Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al Jampesi, pengasuh pesantren 'Jampes' (kini 'Al Ihsan' Jampes) di Dusun Jampes Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jatim. Berkat karyanya yang monumental, KH Ihsan --panggilan akrab KH Ishan bin Dahlan-- akhirnya mendapat gelar ulama sufi...

Kiai dari Dusun Jampes, sekitar 8 kilo meter arah utara kota Kediri ini, sebenarnya bukan dikenal sebagai ulama sufi saja. Tetapi, ia juga dikenal sebagai ahli dalam ilmu-ilmu falak, fiqh, hadist, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Karenanya, karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata. Ulama dan penulis kitab ini memang memiliki kuat talenta dan darah kiai. Ia putra pasangan dari KH Dahlan bin Saleh dan Ny Istianah, pendiri pesantren Jampes. Kakeknya Kiai Saleh adalah seorang ulama asal Bogor, Jabar, yang masa muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren di Jatim.

Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur keturunan dari Sunan Syarif Hidayatullah Gunungjati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di tanah air. Sedangkan ibundanya anak dari KH Mesir, tokoh ulama di Pacitan yang masih keturunan panembahan senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16. Kiai yang suka menggeluti dunia tasawuf itu dikenal sebagai orang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang berbobot namun ia tak suka publikasi. ''Beliau juga enggan berfoto diri. Sampai-sampai keturunannya sulit memiliki dokumentasi fotonya,'' kata KH Abdul Latief, pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Kiai Ihsan ini.

Semenjak muda, lanjutnya, Kiai Ihsan memiliki hobi membaca. Memang ia memiliki motto: Tiada Hari Tanpa Membaca. Buku-buku yang dibaca bukan semata hanya berupa kitab-kitab agama saja. Namun ia juga senang membaca aneka garam kitab, baik itu yang berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia. Malah membaca koran adalah termasuk salah satu hobi Kiai Ihsan. Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi mengarang mengikuti. Dalam waktu-waktu senggang beliau selalu mengarang, bila tak memanfaatkan untuk membaca. Sedangkan yang ia selalu tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan dengan kedudukannya sebagai kiai pengasuh pondok pesantren.

Pada tahun 1930, Kiai Ihsan menulis sebuah kitab dibidang ilmu falak (astronomi) yang diberinya judul: Tashrih Al Ibarat, penjabaran dari kitab Natijat Al Miqat kitab karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang. Kitab Tashrih Al; Ibarat diterbitkan oleh sebuah penerbit di Kota Kudus (Jateng) dengan isi setebal 48 halaman. Selanjutnya, pada 1932, Kiai, yang kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini, juga berhasil mengarang kitab ilmu tasawuf. Kitab ilmu taswawuf yang ditulis itu akhirnya membuarkan nama wangi tak hanya Pondok James, tetapi juga bangsa Indonesia --karena kitab tersebut akhirnya menjadi referensi di manca negara. Kitab itu tak lain adalah Siraj Al Thalibin.

Tahun 1944, Kiai Ihsan mengarang lagi sebuah kitab yang diberi judul Manahij Al Amdad, penjabaran dari kitab Irsyad Al Ibad karya Syeikh Zainuddin Al Mulaibari (982 H). Setebal 1036 halaman, kitab itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi. Selain Manahij Al Amdad, masih ada lagi karya-karya pengasuh Pondok Jampes ini yang belum sempat naik cetak. Di antaranya adalah sebuah kitab yang berjudul Irsyad Al Ikhwan Fisyurbati Al Qahwati Wa Al Dukhan, sebuah kitab yang khusus membicarakan tentang minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam.

Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama hingga ke manca negara adalah Siraj Al Thalibin. Bahkan, raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam, pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes hanya menyampaikan keinginannya agar KH Ihsan bersedia diperbantukan mengajar di Al Azhar University di Kairo, Mesir. Namun, Kiai Ihsan menolaknya dengan halus permintaan Raja Faraouk lewat utusannya tadi. Dusun Jampes yang sepi, tampaknya lebih memikat hati Kiai Ihsan untuk berlama-lama tinggal dari pada harus hengkang di Mesir. Tujuan hidupnya memang adalah mengabdi kepada warga pedesaan di tanah air.

Dan, keinginan untuk membesarkan pondok pesantren di lingkungan desa yang sepi itu bisa terwujud. Pada 1942 lalu, Kiai Ihsan tak hanya berkutat mengasuh pesantren semata. Tetapi di dalam pesantren ini juga mulai didirikan madrasah. Di bawah kepemimpinan Kiai Ihsan, Pesantren Jampes terus didatangi para santri dari berbagai penjuru tanah air untuk menimba ilmu.

Madrasah yang didirikan pada jaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang lebih dikenal dengan sebutan 'MMH' (Madrasah Mufatihul Huda). Kemudian dalam perkembangannya, pesantren ini pun mengecambah bangunan-bangunan sekolah setingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Malah, keberada pesantren tersebut oleh warga sekitar kini seolah menjadi 'tameng' dari desakan PT Gudang Garam yang terus mencari tanah untuk meluaskan lokasi pabriknya.

Salam Buat Semua yang (sudah tamat atau yang masih mondok)Santri Jampes Khususnya Kamar "SLANK". ojo lali kopi karo rokok,e lintingan Yo? :-)

Guru Ngaji Kulo






KH. IHSAN MUHAMMAD DAHLAN


Yang saya tahu Kh.Ihsan Muhammad yang masyhur dengan nama Syech Ihsan jampes satu satunya Ulama yang mengarang dan menulis Kitab tentang kopi dan rokok . Kitab Asli yang berjudul “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” mengupas tentang kopi dan rokok dari mulai sejarah munculnya Kopi dan rokok sampai hukum mengkomsumsi keduanya.

cover1Ulama asal kediri yang buah karyanya diakui ulama – ulama internasional sebut saja kitab yang saat ini di bajak oleh penerbit Darul Imayah Beirut berjudul” Sirajut Thalibin” , Kitab tersebut kini banyak beredar di Indonesia namun entah salah cetak atau sengaja dicantumkan pengarang tersebut Syech Zaini dahlan padahal harusnya adalah Syech Ihsan Muhammad Dahlan dari Jempes kediri. Saya tidak habis pikir Penerbit t Darul Imayah di Beirut merupakan perusahaan penerbitan yang telah masyhur bisa salah cetak dan menurut saya ada unsur kesengajaan untuk membajak buah karya ulama Kediri tersebut , karena kata pengantar /Taqridah dari KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab asli tersebut di buang dan di ganti dengan Biografi Syech Zaini Dahlan ( ulama timur tengah ).

Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech Ihsan Jampes tersebut??

KH.Ihsan Dahlan Jampes adalah Putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal dilingkungan Pesantren terkenal nakal, orang memanggil dengan sebutan “Bakri” lahir sekitar tahun 1901 di desa Jampes Kediri jawa timur. Ayahnya bernama Kh.Dahlan . Kegeramaran Syech Ihsan remaja adalah nonton wayang sambil ditemani kopi dan rokok dan yang membuat khawatir keluarganya adalah kegemaran bermain judi. Bakri julukan Syech ihsan kecil sangat mahir bermain judi , sudah beberapa kali ayahnya menasehatinya agar berhenti melakukan perbuatan buruk tersebut , namun kebiasaan putranya tersebut belum juga berubah masih saja gemar bermain Judi . hingga suatu hari Ayahnya Bakri Kh.Dahlan mengajaknya berziarah ke makam seorang ulama bernama Kh Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya, disana ayahnya bermunajat kepada Alloh agar putranya sadar dan insyaf dan memohon kepada alloh kalau saja putranya masih saja seperti itu agar di beri umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat. Selepas ziarah tersebut suatu malam Syech Ihsan bermimpi di datangi oleh seorang berwujud kakek sedang membawa sebuah batu yang sangat besar yang siap di lemparkan ke kepala Syech Ihsan sambil berkata ” Hai cucu ku kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan Batu besar ini ke pala mu” kata Kakek tersebut. ” Apa hubungannya kakek dengan ku..? mau berhenti atau terus bukan urusan kakek ” Timpal Syech Ihsan. Tiba tiba Sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syech Ihsan….hingga pecah kepalanya…Saat itu Syech Ihsan terbangun dari tidurnnya sambil mulutnya mengucapkan istighfar”‘ Astaghfirlulloh…..apa yang sedang terjadi kepadaku….Ya Alloh….ampuni dosaku….. Sejak saat itu Syech Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di pulau Jawa . Mengambil berkah dan restu dari para ulama ulama di jawa seperti Kh.Saleh darat, Kh.Hasyim Asyari dan Kh Muhammad Kholil Madura.

Setelah sekian lama merlakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu sekitah tahun 1932 Syech Ihsan mulai menetap dan mengajar . Hari hari beliau gunakan untuk mengajar dan menulis Kitab sambil di temani Kopi dan rokok yang menjadi ciri khasnya, begitu banyak karya karya beliau yang di akui oleh para ulama ulama nusantara dan internasional, KItab Siraj al-Thalibin, yang ditulis sekitar 1932-33 sebagai syarah atas karya Al-Ghazali, yang sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf dan kitab tersebut dibuat kata pengantar langsung dari Kh.Hasyim Asyari tebuireng Jombang . Model thasawuf yang di bahas dalam kitab tersebut menawarkan Konsep Thawasuf masa kini Misalnya ajaran tentang konsep uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dalam kitab tersebut dimaknai sebagai pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Uzlah bukan lagi menyepi, tapi bagaimana hidup dalam masyarakat majemuk. Inilah yang disebut sebagai tasawuf hadzaz zaman (tasawuf zaman ini) . KOnsef zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.
”Jadi zuhud adalah tapa dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Syech Ihsan sendiri adalah Ulama yang kaya raya,”

Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimat Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Tebalnya Kitab tersebut nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz.


Sebelumnya, pada 1930 Syech Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak berjudul Tashrih al-Ibarat yang merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Karya lainnya yang unik adalah Kitab “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” terinspirasi karena kegeramarannya Syech Ihsan yang suka Kopi dengan Rokok. Walaupun Syech Ihsan tidak pernah belajar di Mekkah namun kemampuan bahasa Arab dan keterampilannya dalam menulis kitab berbahasa Arab sangat luar biasa dan ada sebuah karya Syech Ihsan yang menjadi manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Kairoh selama bertahun tahun berjudul ” Manahijul Imdad” merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba) karya Syekh Zainuddin Malibari ( lombok ) . Kitab setebal 118 halaman itu diulas kembali oleh Syech Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua juz. Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda dengan kitab fikih formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawuf dan pada bab-bab tertentu banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan) melakukan ibadah. Manuskrip kitab yang tersimpan di perpustakaan Kairo akhirnya di minta oleh pihak keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau yang tinggal di semarang.

Pada tanggal 15 September 1952 Syech Ihsan Dahlan dipanggil oleh Alloh swt dengan meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang saat ini menjadi rujukan para ulama ulama baik nusantara maupun internasional.
Tarekat :

Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).

Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.

Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.

Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.

Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada al-Thariqah al-Mu'tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naksibandiyah, Tarekat Rifa'iah, Tarekat Samaniyah dll. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat.


Semoga tuhan selalu membimbing kita.... amin

Asal Usul dan Pengertian Taswauf

Secara etimologi, ada tiga kata yang menjadi kemungkinan timbulnya istilah tasawuf ( تصوف ), yaitu: shaff ( صف), shûff (), dan shuffah (صوف).[1]

1. Shaff (صف). Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan (shaffan) yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.[2] Shaffan sesungguhnya berarti secara berbaris-baris. Jadi, mengacu pada ayat di atas, tasawuf adalah menyusun barisan di jalan Allah SWT (fî sabîlillâh) –pen.

2. Shûf (صوف) adalah bulu domba. Pada masa pra-Islam, bulu domba sering digunakan sebagai pakaian oleh para ruhban () atau rabbi (pemimpin Yahudi yang asketis) sebagai simbol kesederhanaan. Shûf juga sering dijadikan pakaian oleh para petapa Nasrani.[3] Jadi, tasawuf adalah hal yang identik dengan kesederhanaan –pen.

3. Shuffah (صفة) adalah tempat duduk kecil yang terbuat dari kayu atau batu. Para sahabat Nabi saw sering duduk di atas shuffah sehingga mereka disebut Ahlush-shuffah (أهل الصفة).[4] Oleh sebab itu, tasawuf diidentikkan dengan Ahlush-shuffah dan diyakini bahwa tasawuf berasal dari kebiasaan para sahabat Nabi saw –pen.

Kesimpulannya, secara etimologi, tasawuf adalah barisan-barisan yang senantiasa berada di jalan Allah SWT dan hidup sederhana dengan mencontoh teladan para sahabat Nabi saw yang saleh –pen.

Tasawuf Menurut Beberapa Ulama
Ada beberapa ulama yang telah mendefinisikan istilah tasawuf. Di antaranya ialah Abu Muhammad Jariri (w. 923), Kattani (w. 934), Ruwaim (w. 915), Dzun-Nun Mishri (w. 858), dan Junaid (w. 913).

Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Tasawuf adalah memasuki akhlak yang baik dan keluar dari akhlak yang buruk”

Kattani berkata, “Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah baik akhlak, bertambah baik (pula) tasawufnya.”

Ruwaim berkata, “Tasawuf adalah membiarkan diri bersama Allah menurut apa yang dikehendaki Allah.”

Dzun-Nun Mishri berkata, “Sufi (penganut tasawuf –pen.) adalah orang yang tidak berpayah-payah meminta dan tidak terkejut oleh penolakan.” (Maksudnya adalah tidak meminta sesuatu dan tidak kecewa apabila tidak mendapatkan apa yang diharapkan –pen).

Jadi, tasawuf bisa didefinisikan sebagai pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus berakhlak mulia dan senantiasa menyerahkan urusannya kepada Allah SWT (bertawakal) –pen.


Semoga bermanfaat Amin.... yarobbal 'Alamin