Salah satu ulama yang paling berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di
wilayah nusantara pada abad ke-19 (awal abad ke-20) adalah Syekh Ihsan Muhammad
Dahlan al-Jampesi. Namun, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Pondok
Pesantren Jampes (kini Al Ihsan Jampes) di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan
Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namanya makin terkenal setelah kitab
karangannya Siraj Al-Thalibin menjadi bidang ilmu yang dipelajari hingga
perguruan tinggi, seperti Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dan, dari
karyanya ini pula, ia dikenal sebagai seorang ulama sufi yang sangat hebat.
Semasa hidupnya, Kiai dari Dusun Jampes ini tidak hanya dikenal sebagai ulama
sufi. Tetapi, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu
falak, fikih, hadis, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Karena itu,
karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata,
tetapi hingga pada persoalan fikih.
Dilahirkan sekitar tahun 1901, Syekh Ihsan al-Jampesi adalah putra dari seorang
ulama yang sejak kecil tinggal di lingkungan pesantren. Ayahnya KH Dahlan bin
Saleh dan ibunya Istianah adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes.
Kakeknya adalah Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat, yang masa
muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren
di Jatim.
Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang
sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur keturunan dari Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali
penyebar agama Islam di Tanah Air.
Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang kiai Mesir, tokoh ulama di Pacitan
yang masih keturunan Panembahan Senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri
Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16.
Keturunan Syekh Ihsan al-Jampesi mengenal sosok ulama yang suka menggeluti
dunia tasawuf itu sebagai orang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang
berbobot, namun ia tak suka publikasi. Hal tersebut diungkap KH Abdul Latief,
pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Syekh Ihsan al-Jampesi.
Membaca dan menulis
Semenjak muda, Syekh Ihsan al-Jampesi terkenal suka membaca. Ia memiliki motto
(semboyan hidup), 'Tiada Hari tanpa Membaca'. Buku-buku yang dibaca beraneka
ragam, mulai dari ilmu agama hingga yang lainnya, dari yang berbahasa Arab
hingga bahasa Indonesia.
Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam
dirinya. Di waktu senggang, jika tidak dimanfaatkan untuk membaca, diisi dengan
menulis atau mengarang. Naskah yang ia tulis adalah naskah-naskah yang berisi
ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh
pondok pesantren.
Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab di bidang ilmu
falak (astronomi) yang berjudul Tashrih Al-Ibarat , penjabaran dari kitab
Natijat Al-Miqat karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang. Selanjutnya, pada 1932,
ulama yang di kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil
mengarang sebuah kitab tasawuf berjudul Siraj Al-Thalibin . Kitab Siraj
Al-Thalibin ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga
bangsa Indonesia.
Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul Manahij Al-Amdad ,
penjabaran dari kitab Irsyad Al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karya Syekh
Zainuddin Al-Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1036
halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.
Selain Manahij Al-Amdad , masih ada lagi karya-karya pengasuh Ponpes Jampes
ini. Di antaranya adalah kitab Irsyad Al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa
Al-Dukhan , sebuah kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari
segi hukum Islam.
Kitab yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati wa al-Dukhan
(kitab yang membahas kopi dan rokok) ini tampaknya ada kaitannya dengan
pengalaman hidupnya saat masih remaja.
Di kisahkan, sewaktu muda, Syekh Ihsan terkenal bandel. Orang memanggilnya
'Bakri'. Kegemarannya waktu itu adalah menonton wayang sambil ditemani segelas
kopi dan rokok. Kebiasannya ini membuat khawatir pihak keluarga karena Bakri
akan terlibat permainan judi. Kekhawatiran ini ternyata terbukti. Bakri sangat
gemar bermain judi, bahkan terkenal sangat hebat. Sudah dinasihati
berkali-kali, Bakri tak juga mau menghentikan kebiasan buruknya itu.
Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama
bernama KH Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya. Di makam
tersebut, ayahnya berdoa dan memohon kepada Allah agar putranya diberikan
hidayah dan insaf. Jika dirinya masih saja melakukan perbuatan judi tersebut,
lebih baik ia diberi umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat dan
masyarakat.
Selepas berziarah itu, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri) bermimpi didatangi
seseorang yang berwujud seperti kakeknya sedang membawa sebuah batu besar dan
siap dilemparkan ke kepalanya.''Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan
kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke
kepalamu," kata kakek tersebut.
Ia bertanya dalam hati, ''Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau
terus, itu bukan urusan kakek,'' timpal Syekh Ihsan.Tiba tiba, sang kakek
tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya
pecah. Ia langsung terbangun dan mengucapkan istighfar. ''Ya Allah, apa yang
sedang terjadi. Ya Allah, ampunilah dosaku.''
Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai
gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa.
Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH Saleh Darat
(Semarang), KH Hasyim Asyari (Jombang), dan KH Muhammad Kholil (Bangkalan,
Madura).
Tawaran Raja Mesir
Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama
hingga ke mancanegara adalah Siraj Al-Thalibin . Bahkan, Raja Faruk yang
sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes
hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia
diperbantukan mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk lewat utusannya tadi
dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya kepada warga pedesaan di Tanah Air
melalui pendidikan Islam.
Dan, keinginan Syekh Ihsan al-Jampesi tersebut terwujud dengan berdirinya
sebuah madrasah dalam lingkungan Ponpes Jampes di tahun 1942. Madrasah yang
didirikan pada zaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang
lebih dikenal dengan sebutan 'MMH' (Madrasah Mufatihul Huda).
Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Jampes terus didatangi para santri dari
berbagai penjuru Tanah Air untuk menimba ilmu. Kemudian, dalam perkembangannya,
pesantren ini pun berkembang dengan didirikannya bangunan-bangunan sekolah
setingkat tsanawiyah dan aliyah. Dedikasinya terhadap pendidikan Islam di Tanah
Air terus ia lakukan hingga akhir hayatnya pada 15 September 1952.
Siraj Al-Thalibin, Kitab yang Sarat dengan Ilmu Tasawuf
Umat Muslim yang pernah menuntut ilmu agama di pesantren tentu pernah mendengar
atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin
karya Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi. Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj
Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar di masa abad
pertengahan.
Kitab Siraj al-Thalibin disusun pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali
pada 1936 oleh penerbitan dan percetakan An Banhaniyah milik Salim bersaudara
(Syekh Salim bin Sa'ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya yang bekerja sama
dengan sebuah percetakan di Kairo, Mesir, Mustafa Al Baby Halabi. Yang terakhir
adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama
Islam karya ulama besar abad pertengahan.
Siraj al-Thalibin terdiri atas dua juz (jilid). Juz pertama berisi 419 halaman
dan juz kedua 400 halaman. Dalam periode berikutnya, kitab tersebut dicetak
oleh Darul Fiqr--sebuah percetakan dan penerbit di Beirut, Lebanon. Dalam
cetakan Lebanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman
dan jilid kedua 554 halaman.
Kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di negara-negara non-Islam,
seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia, di mana terdapat jurusan
filsafat, teosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu. Sehingga,
kitab Siraj al-Thalibin ini menjadi referensi di mancanegara.
Tidak hanya itu, kitab ini juga mendapatkan pujian luas dari kalangan ulama di
Timur Tengah. Karena itu, tak mengherankan jika kitab ini dijadikan buku wajib
untuk kajian pascasarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sebuah lembaga
perguruan tinggi tertua di dunia.
Kitab ini dipelajari beberapa perguruan tinggi lain dan digunakan oleh hampir
seluruh pondok pesantren di Tanah Air dengan kajian mendalam tentang tasawuf
dan akhlak. Menurut Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari situs
NU Online , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum Muslim di
Afrika dan Amerika.
Karya fenomenal ulama dari Dusun Jampes, Kediri, ini belakangan menjadi
pembicaraan hangat di Tanah Air. Ini setelah sebuah penerbitan terbesar di
Beirut, Lebanon, kedapatan melakukan pembajakan terhadap karya Syekh Ihsan
Muhammad Dahlan al-Jampesi. Perusahaan penerbitan dengan nama Darul Kutub
Al-Ilmiyah ini diketahui mengganti nama pengarang kitab Siraj al-Thalibin
dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Bahkan, kitab versi baru ini sudah beredar
luas di Indonesia.
Dalam halaman pengantar kitab Siraj al-Thalibin versi penerbit Darul Kutub
Al-Ilmiyah, nama Syekh Ihsan al-Jampesi di paragraf kedua juga diganti dan
penerbit menambahkan tiga halaman berisi biografi Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang
wafat pada 1941, masih satu generasi dengan Syeh Ihsan al-Jampesi yang wafat
pada 1952. Sementara itu, keseluruhan isi dalam pengantar itu bahkan
keseluruhan isi kitab dua jilid itu sama persis dengan kitab asal. Penerbit
juga membuang taqaridh atau semacam pengantar dari Syekh KH Hasyim Asyari
(Jombang), Syekh KH Abdurrahman bin Abdul Karim (Kediri), dan Syekh KH Muhammad
Yunus Abdullah (Kediri).
Kitab tersebut menawarkan konsep tasawuf di zaman modern ini. Misalnya,
pengertian tentang uzlah yang secara umum bermakna pengasingan diri dari
kesibukan duniawi. Menurut Syekh Ihsan, maksud dari uzlah di era sekarang
adalah bukan lagi menyepi, tapi membaur dalam masyarakat majemuk, namun tetap
menjaga diri dari hal-hal keduniawian.
semoga ilmu kita bermanfaat dunia akhirat.... Amin ya robbal alamin!